Selasa, 10 April 2012

OASE
Oei Hong Djien, Gairah Seorang Kolektor
Oei Hong Djien
Belum lagi muncul orangnya, suara kerasnya sudah menggema hingga halaman museum seni rupa miliknya yang terletak di Jalan P. Diponegoro 74 Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Dialah dr. Oei Hong Djien. Lelaki kelahiran Magelang, Jawa Tengah, 5 April 1939. Seorang kolektor dan kurator seni rupa Indonesia terkenal asal Magelang, Jawa Tengah.
Pria yang akrab dipanggil OHD ini, selain dikenal sebagai kolektor lukisan juga dikenal sebagai pedagang tembakau sekaligus grader untuk PT. Djarum Kudus. Gelar dokter OHD diperoleh dari Universitas Indonesia dan spesialisasi didapat dari Belanda.
Lantas, dengan semangat dan penuh kehangatan, OHD menyalami satu persatu tamu-tamunya seraya menanyakan  ihwal sang tamu. "Anda dari mana? O.. iya, saya tahu..." ujar OHD usai bersalaman dengan para wartawan yang mendatangi museum miliknya pada Rabu, 4 April 2012. Setelah bersalaman dengan semua tamu-tamunya, OHD pun mengajak tetamunya untuk memasuki museumnya.
Dengan suara jernih dan keras, OHD pun berkisah tentang koleksi yang dimilikinya. "Ini karya Widayat, seorang maestro Indonesia. Ini karya yang menggambarkan kehidupan di darat, air dan udara. Di sini ada ikan, burung-burung, dan tanaman tembakau. Kenapa tembakau? Karena tembakau adalah komoditi yang menopang masyarakat di sini. Orang-orangdulu bilang, kalau mau makmur di sini, berdaganglah tembakau," ujar OHD seraya menunjuk sebuah karya instalasi yang dipajang di halaman museum.
Saat memasuki ruang museum, OHD pun memaparkan koleksinya yang tertata rapi. Dia menyebut, di museumnya itu terdapat karya-karya dari lima pelukis yang disebutnya sebagai maestro Indonesia. "Mereka adalah Affandi, Sudjojono, Hendra Gunawan, Soedibio, dan H Widayat."
Dengan gamblang, OHD pun bercerita tentang para pelukis itu beserta karya-karyanya. Affandi misalnya, OHD menyebut, pelukis asal Yogyakarta itu menggunakan teknik squish, sebuah teknik 'liar' yang menggunakan jemari untuk menorehkan cat minyak ke permukaan kanvas. Pelukis yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974 ini dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan langsung cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya, bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan tentang sesuatu.
Affandi dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tariknya. "Cara Affandi mengungkapkan perasaanya saat menggambar seorang perempuan berbeda dengan pelukis lainnya. Affandi memiliki gairah yang meluap, sehingga perempuan di lukisannya nampak lebih sensual," ujar Oei.
"Nah, yang ini lukisannya Hendra Gunawan. Seorang pelukis yang betul-betul dekat dengan rakyat," ujar Oei menunjuk sebuah lukisan berukuran besar yang menggambarkan aktivitas masyarakat bawah. Lalu Oei pun bercerita tentang jati diri Hendra Gunawan yang lahir pada 11 Juni 1918 di Bandung, Jawa Barat. Menurut Oei, Hendra beruntung karena sempat sempat masuk sekolah dan belajar melukis pada Wahdi, seorang pelukis pemandangan. Dari Wahdi, ia banyak menggali pengetahuan tentang melukis. Kegiatannya bukan hanya melukis semata, tetapi pada waktu senggang ia menceburkan diri pada grup sandiwara Sunda sebagai pelukis dekor. Dari pengalaman itulah, ia mengasah kemampuannya.
Pertemuannya dengan Affandi merupakan fase dan sumber inspirasi jalan hidupnya untuk menjadi seorang pelukis. Dengan didasari niat yang tulus dan besar, ia memberanikan diri melangkah maju. Bermodalkan pensil, kertas, kanvas dan cat ia mulai berkarya. Komunitas dari pergaulannya ikut mendukung dan terus mendorongnya untuk berkembang. Keberaniannya terlihat ketika ia membentuk Sanggar Pusaka Sunda pada tahun 1940-an bersama pelukis Bandung dan pernah beberapa kali mengadakan pameran bersama.

Revolusipun pecah, Hendra ikut berjuang. Baginya antara melukis dan berjuang sama pentingnya. Pengalamannya di front perjuangan banyak memberi inspirasi baginya. Dari sinilah lahir karya-karya lukisan Hendra yang revolusioner. Lukisan “Pengantin Revolusi”, disebut-sebut sebagai karya empu dengan ukuran kanvas yang besar, tematik yang menarik dan warna yang menggugah semangat juang. Nuansa kerakyatan menjadi fokus dalam pemaparan lukisannya.

Keberpihakannya pada rakyat membuatnya harus mendekam di penjara selama 13 tahun antara tahun 1965-1978, karena ia tercatat sebagai salah seorang tokoh Lekra. Ketika dipenjara, ia masih terus melukis dengan warna-warna yang natural dengan menggunakan kanvas berukuran besar. Semua itu diperolehnya dari begitu seringnya ia belajar dari ikan, baik warnanya maupun karakter ikan yang tidak mengenal diam.
Usai bertutur tentang Affandi dan Hendra Gunawan, Oei pun bercerita tentang H. Widayat, seorang pelukis yang sangat dikagumi Oei. Dari caranya bercerita tentang figur-figur pelukis itu, sungguh membuat Oei bak kamus senirupa berjalan.
Suaranya yang lantang pun berkisah tentang Widayat yang dilahirkan tanggal 9 Maret 1919 di Kutoarjo, Jawa Tengah dari ayah Danunoto dan Ibu Jumi. Widayat adalah anak pertama dari lima bersaudara, dan satu-satunya yang terjun di bidang kesenian (seni lukis). Dan bakat seninya itu tumbuh dari ibunya sebagai pembatik.

Pengalaman seni lukis Widayat cukup mengesankan, setelah tamat HIS (Sekolah Belanda) di Trenggalek tahun 1937, ia pindah dan belajar di Bandung, Jawa Barat. Di kota inilah ia bertemu dengan “pelukis hari minggu” Mulyono, dan dapat dikatakan bahwa dari situlah karir kesenilukisan Widayat dimulai. Tahun 1939, Widayat melamar sebagai pegawai kehutanan sebagai mantri opnamer (juru ukur) dan ditempatkan di Palembang selama lebih kurang tiga tahun. Masa tiga tahun sebagai juru ukur kebun karet sangat membekas dalam hatinya. Ini terlihat dalam sebagian karyanya yang banyak diilhami pengamatannya tentang alam, hewan dan tumbuhan.

Sejak menjadi pendidik di ASRI muncul obsesi untuk mendirikan museum, terlebih setelah pulangnya Widayat dari Jepang (1962). Niat dan keinginan mempunyai museum itu baru terwujud pada tahun 1994. Dengan bangunan megah, museum itu berdiri, terdiri atas dua lantai di Sawitan, Kota Mungkid Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Pendirian museum di Kabupaten Magelang ini dapat terwujud setelah berbagai tempat yang dijajaki gagal.

***
"Soedibio menurut saya adalah seorang pelukis surealis yang hebat. Kenapa lukisan-lukisannya saya koleksi? Karena saya punya ambisi untuk mengangkat pelukis hebat yang kehebatannya itu belum diketahui banyak orang," ujar OHD saat tiba pada sebuah lukisan karya Soedibio.

Menurut Oei, Soedibio menampilkan seni dekoratif, penuh ornamen, dengan warna-warna yang segar. Soedibio seperti merindukan ketenteraman masa silam. Lukisan-lukisan Soedibio bisa dijadikan cermin perjalanan sejarah seni rupa Indonesia.

Sementara mengenai Soedjojono, Oei mencatat, lukisan Soedjojono yang berjudul "Sedang Mengaso" (1950) merupakan cermin perubahan Soedjojono pada awal 1950-an: berbalik dari melukis ekepresif ke pembuatan lukisan realistis. Masa yang disebutnya ''kembali ke realisme'' ini sangat pendek. Karena itu, tidak banyak yang bisa ditemukan lukisan Soedjojono dengan kecenderungan ini. Bahkan, pada pameran retrospeksinya tahun 1986, periode ini tidak terwakili. Sedang Mengaso bukan hanya mencerminkan perubahan Soedjojono, tapi juga menandai titik awal menuju perubahan itu. Pada lukisan ini Soedjojono mengguratkan catatan tidak terbaca jelas tentang harus berubahnya arah seni lukis Indonesia.

Bertemu dan berbincang dengan OHD, sungguh sebuah pengalaman yang menggetarkan. OHD adalah cermin semangat seorang manusia yang memilih hobinya dengan penuh gairah, sehingga tak nampak sedikit pun kepenatan pada dirinya meski berbicara berjam-jam tanpa henti dengan berdiri. 
www.pulogadingcity.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar