OASE
Oei Hong Djien, Gairah Seorang Kolektor
Belum lagi muncul orangnya, suara kerasnya sudah menggema hingga
halaman museum seni rupa miliknya yang terletak di Jalan P. Diponegoro
74 Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Dialah dr. Oei Hong Djien. Lelaki
kelahiran Magelang, Jawa Tengah, 5 April 1939. Seorang kolektor dan
kurator seni rupa Indonesia terkenal asal Magelang, Jawa Tengah.
Pria
yang akrab dipanggil OHD ini, selain dikenal sebagai kolektor lukisan
juga dikenal sebagai pedagang tembakau sekaligus grader untuk PT. Djarum
Kudus. Gelar dokter OHD diperoleh dari Universitas Indonesia dan
spesialisasi didapat dari Belanda.
Lantas, dengan semangat dan
penuh kehangatan, OHD menyalami satu persatu tamu-tamunya seraya
menanyakan ihwal sang tamu. "Anda dari mana? O.. iya, saya tahu..."
ujar OHD usai bersalaman dengan para wartawan yang mendatangi museum
miliknya pada Rabu, 4 April 2012. Setelah bersalaman dengan semua
tamu-tamunya, OHD pun mengajak tetamunya untuk memasuki museumnya.
Dengan
suara jernih dan keras, OHD pun berkisah tentang koleksi yang
dimilikinya. "Ini karya Widayat, seorang maestro Indonesia. Ini karya
yang menggambarkan kehidupan di darat, air dan udara. Di sini ada ikan,
burung-burung, dan tanaman tembakau. Kenapa tembakau? Karena tembakau
adalah komoditi yang menopang masyarakat di sini. Orang-orangdulu
bilang, kalau mau makmur di sini, berdaganglah tembakau," ujar OHD
seraya menunjuk sebuah karya instalasi yang dipajang di halaman museum.
Saat
memasuki ruang museum, OHD pun memaparkan koleksinya yang tertata rapi.
Dia menyebut, di museumnya itu terdapat karya-karya dari lima pelukis
yang disebutnya sebagai maestro Indonesia. "Mereka adalah Affandi,
Sudjojono, Hendra Gunawan, Soedibio, dan H Widayat."
Dengan
gamblang, OHD pun bercerita tentang para pelukis itu beserta
karya-karyanya. Affandi misalnya, OHD menyebut, pelukis asal Yogyakarta
itu menggunakan teknik squish, sebuah teknik 'liar' yang menggunakan
jemari untuk menorehkan cat minyak ke permukaan kanvas. Pelukis yang
meraih gelar Doktor Honoris Causa dari University of Singapore tahun
1974 ini dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan langsung
cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya,
bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan
rasakan tentang sesuatu.
Affandi dikenal sebagai seorang pelukis
yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali
lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang
yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi
pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tariknya. "Cara
Affandi mengungkapkan perasaanya saat menggambar seorang perempuan
berbeda dengan pelukis lainnya. Affandi memiliki gairah yang meluap,
sehingga perempuan di lukisannya nampak lebih sensual," ujar Oei.
"Nah,
yang ini lukisannya Hendra Gunawan. Seorang pelukis yang betul-betul
dekat dengan rakyat," ujar Oei menunjuk sebuah lukisan berukuran besar
yang menggambarkan aktivitas masyarakat bawah. Lalu Oei pun bercerita
tentang jati diri Hendra Gunawan yang lahir pada 11 Juni 1918 di
Bandung, Jawa Barat. Menurut Oei, Hendra beruntung karena sempat sempat
masuk sekolah dan belajar melukis pada Wahdi, seorang pelukis
pemandangan. Dari Wahdi, ia banyak menggali pengetahuan tentang melukis.
Kegiatannya bukan hanya melukis semata, tetapi pada waktu senggang ia
menceburkan diri pada grup sandiwara Sunda sebagai pelukis dekor. Dari
pengalaman itulah, ia mengasah kemampuannya.
Pertemuannya dengan
Affandi merupakan fase dan sumber inspirasi jalan hidupnya untuk menjadi
seorang pelukis. Dengan didasari niat yang tulus dan besar, ia
memberanikan diri melangkah maju. Bermodalkan pensil, kertas, kanvas dan
cat ia mulai berkarya. Komunitas dari pergaulannya ikut mendukung dan
terus mendorongnya untuk berkembang. Keberaniannya terlihat ketika ia
membentuk Sanggar Pusaka Sunda pada tahun 1940-an bersama pelukis
Bandung dan pernah beberapa kali mengadakan pameran bersama.
Revolusipun pecah, Hendra ikut berjuang. Baginya antara melukis dan berjuang sama pentingnya. Pengalamannya di front perjuangan banyak memberi inspirasi baginya. Dari sinilah lahir karya-karya lukisan Hendra yang revolusioner. Lukisan “Pengantin Revolusi”, disebut-sebut sebagai karya empu dengan ukuran kanvas yang besar, tematik yang menarik dan warna yang menggugah semangat juang. Nuansa kerakyatan menjadi fokus dalam pemaparan lukisannya.
Keberpihakannya pada rakyat membuatnya harus mendekam di penjara selama 13 tahun antara tahun 1965-1978, karena ia tercatat sebagai salah seorang tokoh Lekra. Ketika dipenjara, ia masih terus melukis dengan warna-warna yang natural dengan menggunakan kanvas berukuran besar. Semua itu diperolehnya dari begitu seringnya ia belajar dari ikan, baik warnanya maupun karakter ikan yang tidak mengenal diam.
Revolusipun pecah, Hendra ikut berjuang. Baginya antara melukis dan berjuang sama pentingnya. Pengalamannya di front perjuangan banyak memberi inspirasi baginya. Dari sinilah lahir karya-karya lukisan Hendra yang revolusioner. Lukisan “Pengantin Revolusi”, disebut-sebut sebagai karya empu dengan ukuran kanvas yang besar, tematik yang menarik dan warna yang menggugah semangat juang. Nuansa kerakyatan menjadi fokus dalam pemaparan lukisannya.
Keberpihakannya pada rakyat membuatnya harus mendekam di penjara selama 13 tahun antara tahun 1965-1978, karena ia tercatat sebagai salah seorang tokoh Lekra. Ketika dipenjara, ia masih terus melukis dengan warna-warna yang natural dengan menggunakan kanvas berukuran besar. Semua itu diperolehnya dari begitu seringnya ia belajar dari ikan, baik warnanya maupun karakter ikan yang tidak mengenal diam.
Usai bertutur tentang Affandi dan Hendra Gunawan,
Oei pun bercerita tentang H. Widayat, seorang pelukis yang sangat
dikagumi Oei. Dari caranya bercerita tentang figur-figur pelukis itu,
sungguh membuat Oei bak kamus senirupa berjalan.
Suaranya yang
lantang pun berkisah tentang Widayat yang dilahirkan tanggal 9 Maret
1919 di Kutoarjo, Jawa Tengah dari ayah Danunoto dan Ibu Jumi. Widayat
adalah anak pertama dari lima bersaudara, dan satu-satunya yang terjun
di bidang kesenian (seni lukis). Dan bakat seninya itu tumbuh dari
ibunya sebagai pembatik.
Pengalaman seni lukis Widayat cukup mengesankan, setelah tamat HIS (Sekolah Belanda) di Trenggalek tahun 1937, ia pindah dan belajar di Bandung, Jawa Barat. Di kota inilah ia bertemu dengan “pelukis hari minggu” Mulyono, dan dapat dikatakan bahwa dari situlah karir kesenilukisan Widayat dimulai. Tahun 1939, Widayat melamar sebagai pegawai kehutanan sebagai mantri opnamer (juru ukur) dan ditempatkan di Palembang selama lebih kurang tiga tahun. Masa tiga tahun sebagai juru ukur kebun karet sangat membekas dalam hatinya. Ini terlihat dalam sebagian karyanya yang banyak diilhami pengamatannya tentang alam, hewan dan tumbuhan.
Sejak menjadi pendidik di ASRI muncul obsesi untuk mendirikan museum, terlebih setelah pulangnya Widayat dari Jepang (1962). Niat dan keinginan mempunyai museum itu baru terwujud pada tahun 1994. Dengan bangunan megah, museum itu berdiri, terdiri atas dua lantai di Sawitan, Kota Mungkid Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Pendirian museum di Kabupaten Magelang ini dapat terwujud setelah berbagai tempat yang dijajaki gagal.
***
Pengalaman seni lukis Widayat cukup mengesankan, setelah tamat HIS (Sekolah Belanda) di Trenggalek tahun 1937, ia pindah dan belajar di Bandung, Jawa Barat. Di kota inilah ia bertemu dengan “pelukis hari minggu” Mulyono, dan dapat dikatakan bahwa dari situlah karir kesenilukisan Widayat dimulai. Tahun 1939, Widayat melamar sebagai pegawai kehutanan sebagai mantri opnamer (juru ukur) dan ditempatkan di Palembang selama lebih kurang tiga tahun. Masa tiga tahun sebagai juru ukur kebun karet sangat membekas dalam hatinya. Ini terlihat dalam sebagian karyanya yang banyak diilhami pengamatannya tentang alam, hewan dan tumbuhan.
Sejak menjadi pendidik di ASRI muncul obsesi untuk mendirikan museum, terlebih setelah pulangnya Widayat dari Jepang (1962). Niat dan keinginan mempunyai museum itu baru terwujud pada tahun 1994. Dengan bangunan megah, museum itu berdiri, terdiri atas dua lantai di Sawitan, Kota Mungkid Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Pendirian museum di Kabupaten Magelang ini dapat terwujud setelah berbagai tempat yang dijajaki gagal.
***
"Soedibio
menurut saya adalah seorang pelukis surealis yang hebat. Kenapa
lukisan-lukisannya saya koleksi? Karena saya punya ambisi untuk
mengangkat pelukis hebat yang kehebatannya itu belum diketahui banyak
orang," ujar OHD saat tiba pada sebuah lukisan karya Soedibio.
Menurut Oei, Soedibio menampilkan seni dekoratif, penuh ornamen, dengan warna-warna yang segar. Soedibio seperti merindukan ketenteraman masa silam. Lukisan-lukisan Soedibio bisa dijadikan cermin perjalanan sejarah seni rupa Indonesia.
Sementara mengenai Soedjojono, Oei mencatat, lukisan Soedjojono yang berjudul "Sedang Mengaso" (1950) merupakan cermin perubahan Soedjojono pada awal 1950-an: berbalik dari melukis ekepresif ke pembuatan lukisan realistis. Masa yang disebutnya ''kembali ke realisme'' ini sangat pendek. Karena itu, tidak banyak yang bisa ditemukan lukisan Soedjojono dengan kecenderungan ini. Bahkan, pada pameran retrospeksinya tahun 1986, periode ini tidak terwakili. Sedang Mengaso bukan hanya mencerminkan perubahan Soedjojono, tapi juga menandai titik awal menuju perubahan itu. Pada lukisan ini Soedjojono mengguratkan catatan tidak terbaca jelas tentang harus berubahnya arah seni lukis Indonesia.
Bertemu dan berbincang dengan OHD, sungguh sebuah pengalaman yang menggetarkan. OHD adalah cermin semangat seorang manusia yang memilih hobinya dengan penuh gairah, sehingga tak nampak sedikit pun kepenatan pada dirinya meski berbicara berjam-jam tanpa henti dengan berdiri.
www.pulogadingcity.blogspot.com
Menurut Oei, Soedibio menampilkan seni dekoratif, penuh ornamen, dengan warna-warna yang segar. Soedibio seperti merindukan ketenteraman masa silam. Lukisan-lukisan Soedibio bisa dijadikan cermin perjalanan sejarah seni rupa Indonesia.
Sementara mengenai Soedjojono, Oei mencatat, lukisan Soedjojono yang berjudul "Sedang Mengaso" (1950) merupakan cermin perubahan Soedjojono pada awal 1950-an: berbalik dari melukis ekepresif ke pembuatan lukisan realistis. Masa yang disebutnya ''kembali ke realisme'' ini sangat pendek. Karena itu, tidak banyak yang bisa ditemukan lukisan Soedjojono dengan kecenderungan ini. Bahkan, pada pameran retrospeksinya tahun 1986, periode ini tidak terwakili. Sedang Mengaso bukan hanya mencerminkan perubahan Soedjojono, tapi juga menandai titik awal menuju perubahan itu. Pada lukisan ini Soedjojono mengguratkan catatan tidak terbaca jelas tentang harus berubahnya arah seni lukis Indonesia.
Bertemu dan berbincang dengan OHD, sungguh sebuah pengalaman yang menggetarkan. OHD adalah cermin semangat seorang manusia yang memilih hobinya dengan penuh gairah, sehingga tak nampak sedikit pun kepenatan pada dirinya meski berbicara berjam-jam tanpa henti dengan berdiri.
www.pulogadingcity.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar