TRAVELING – Tahukah Anda ada lebih dari 130
bangunan cagar budaya di Jakarta? Tak akan cukup waktu seharian untuk
bisa menjelajahi dan menelisik bangunan-bangunan tersebut.
Beruntunglah
jika Anda tinggal di Jakarta, kota yang kaya akan sejarah dan dipenuhi
bangunan-bangunan tua penuh nilai historis. Sayangnya, banyak bangunan
cagar budaya tidak mendapatkan perhatian.
Tak sedikit
bangunan-bangunan tersebut tampak tak terawat. Coba saja tengok kawasan
Kota Tua Jakarta, kotor dan bau pesing sudah menjadi hal lumrah.
Beberapa bangunan, terutama yang tak masuk kategori cagar budaya,
perlahan-lahan hancur.
Walau begitu, banyak pula bangunan cagar
budaya yang masih menampilkan kecantikan arsitektur seperti di masa
kejayaannya. Wisata sejarah di kota Jakarta tak selalu tentang area
Taman Fatahillah. Mari menjelajahi kekayaan sejarah Batavia dalam 12
jam.
Pagi hari. Mulailah dengan mengunjungi Rumah
Si Pitung di Kelurahan Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Rumah
tersebut dimiliki oleh H. Syafiuddi, seorang pengusaha kaya. Lalu
mengapa disebut sebagai rumah Si Pitung?
Si Pitung sendiri
dianggap jagoan penentang kolonial Belanda. Ia dipandang sebagai “Robin
Hood” dari Betawi. Nah, kabar yang beredar rumah H Syafiuddi pernah
dirampok oleh Si Pitung. Namun, beberapa sumber sejarah menyebutkan
kabar tersebut sengaja diembuskan untuk mengelabui kompeni alias
kolonial Belanda.
Konon, Si Pitung sebenarnya bersembunyi di rumah
tersebut. Aneka misterius dari sosok Si Pitung bisa Anda ketahui di
rumah ini. Bentuk rumah panggung dari kayu tersebut juga memiliki kisah
tersendiri. Tanyakan aneka kisah menarik di balik rumah tersebut pada
penjaga.
Siang hari. Kelar menjelajahi Rumah Si
Pitung, lanjutkan jelajah Anda ke Menara Syahbandar. Biasanya penggemar
fotografi langsung mengarahkan perjalanan ke kawasan Pelabuhan Sunda
Kelapa dan melewatkan Menara Syahbandar.
Padahal, menara tersebut
pun begitu memesona.Dari kejauhan, bangunan tersebut pun tampak menarik.
Apalagi jika diperhatikan seksama menara itu tampak miring, seperti
Menara Pisa di Italia saja.
Dahulu, di sinilah titik nol kilometer
Jakarta, sebelum akhirnya dipindahkan ke Monumen Nasional (Monas).
Jangan hanya berfoto-foto dengan latar belakang menara, tetapi naiklah
sampai ke atas menara dan layangkan pandangan ke arah Pelabuhan Sunda
Kelapa.
Rasakan sensasi kilas balik seperti di masa kolonial
Belanda. Ya, fungsi awal menara tersebut memang merupakan menara
pengawas keluar masuknya kapal. Bangunan terdiri atas tiga lantai.
Lanjutkan
perjalanan ke Galangan VOC. Bangunan tersebut tampak megah dari luar.
Apalagi logo VOC yang terlihat menyolok. Nah, saatnya makan siang di
bangunan peninggalan kolonial Belanda. Galangan VOC memang telah
dialihfungsikan menjadi restoran.
Awalnya, Galangan VOC dibangun
sebagai galangan untuk kapal kecil. Bangunan ini juga pernah menjadi
tempat penggilingan kopi. Bisa dibayangkan di masa kejayaannya sebagai
tempat memperbaiki kapal, pastilah Galangan VOC begitu sibuk.
Sore hari.
Lanjutkan perjalanan ke arah selatan yaitu ke Jembatan Gantung Kota
Intan. Jembatan ini memang sudah tak berfungsi lagi. Di malam hari,
jembatan ini malah jadi tempat nongkrong atau pacaran anak-anak muda.
Saat
matahari tak terlalu panas, paling pas mampir ke jembatan ini pada sore
hari. Apalagi saat matahari mulai turun dan memberikan warna semburat
jingga pada langit. Saat cocok dengan nuansa jembatan yang berwarna
merah bata.
Dahulu jembatan ini dapat diangkat dan diturunkan
secara mekanis bila ada kapal yang melintas. Jembatan yang terbuat dari
kayu itu dari kejauhan memang tampak gagak. Namun, besi-besi sudah
begitu berkarat dan di beberapa bagian kayu sudah lapuk.
Mampir ke
jembatan, Anda boleh saja berjalan hingga ke tengah jembatan. Tetapi,
tetaplah berhati-hati. Lalu layangkan pandangan ke arah kali di
bawahnya. Dulu, para noni Belanda menyeberangi kali dengan
perahu-perahu.
Di bawah Jembatan Intan tersebut konon tersimpan
banyak barang-barang peninggalan VOC maupun kolonial sebelumnya. Meriam
Si Jagur juga disebut-sebut ditemukan di dasar kali tersebut.
Lanjutkan
perjalanan ke Jalan Gajah Mada dan Anda akan menemukan pemandangan yang
aneh. Diapit gedung-gedung tinggi nan modern, sebuah bangunan sederhana
dengan arsitektur China masih berdiri kokoh. Seakan menentang arus
zaman dan tak lekang oleh waktu.
Ya, bangunan tersebut adalah
Gedung Candranaya. Bangunan ini dibangun di awal abad ke-19 oleh Khouw
Tian Sek. Paling menonjol dari gedung ini adalah arsitekturnya yang
merupakan perpaduan antara Tionghoa dan Belanda.
Malam hari.
Akhiri perjalanan dengan mampir ke Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Jika
waktunya pas, Anda bisa menonton aneka pertunjukan kesenian di Gedung
ini. Biasanya, pertunjukkan akan dimulai antara pukul tujuh atau delapan
malam.
Anda bisa melihat pentas teater sampai sendratari di
gedung ini. Jangan lupa sebelum menonton pertunjukan, telusuri area
tunggu di kanan dan kiri ruang pertunjukan. Di dinding terdapat
foto-foto yang menampilkan perjalanan GKJ dari masa ke masa.
Jika
ini pertama kalinya Anda menonton pertunjukan di GKJ, bersiaplah
terpesona dengan area ruang pertunjukkan. Kursi-kursi merah berjejer
rapi. Bagian panggung yang luas dan tinggi. Lalu pilar-pilar tinggi nan
megah. Sepintas pengunjung terasa terlempar ke masa kolonial Belanda,
ketika tuan-tuan dan nyonya-nyonya Belanda berkumpul dan menonton
pertunjukan.
Sejak dulu, fungsi gedung ini selalu tetap yaitu
sebagai gedung pertunjukan. Walaupun di masa Jepang sempat menjadi
markas tentara, namun pada akhirnya kembali menjadi gedung pertunjukkan.
www.pulogadingcity.blogspot.com