TRAVEL
Maret-April Paling Tepat Gowes di Sulawesi
MAX AGUNG PRIBADIGowes Trans Sulawesi.
NEWS - Pagi ini
bening sekali. Saya duduk di tepian pantai berbatu di seberang
penginapan. Lautan tenang. Riaknya seperti menepuk-nepuk bebatuan saat
pecah di pantai.
Sesekali kawanan ikan terbang melompat di
permukaan air. Di langit, burung gagak dan elang bondol berkejaran.
Matahari masih malu-malu sembunyi di balik awan sisa-sisa musim barat.
Gumpalan
awan seperti itu yang menemani perjalanan bersepeda kami sejak dari
Makassar. Mereka meredam garangnya sengatan mentari bumi Celebes,
terutama mendekati garis Khatulistiwa di daerah perbatasan
Sulsel-Sulteng. Awal Maret hingga April mungkin memang saat yang paling
pas untuk bersepeda di Sulawesi.
Suasana di Padapu, Kecamatan
Podi, Kabupaten Tojo Una-una ini benar-benar damai dan menenangkan. Saya
jadi teringat obrolan dengan Ronald Sumual, anak pemilik penginapan,
semalam.
Di dekat Padapu, ada pertambangan nikel dan bijih besi.
Material alam itu diambil dari kawasan sekitar kaki Gunung Katopas dan
dialirkan ke tepi laut menggunakan conveyor.
"Sempat ada rencana
membuka hutan untuk dibuat jalan. Tapi masyarakat menolak karena
khawatir akan merusak lingkungan," tutur Ronald.
Saat ini ada
rencana lain membangun pelabuhan khusus untuk kepentingan penambangan.
Jika pelabuhan itu jadi, diharapkan Padapu berkembang lebih hidup. Namun
akankah ketenangan alami kawasan itu terusik dengan adanya pelabuhan.
Kami berdoa hal itu tidak terjadi.
Warga masih ingat akan bencana
banjir besar Sungai Podi yang terjadi tahun 2001. Sisa banjir masih
terlihat sebelum kita memasuki Padapu berupa endapan pasir coklat dan
material bebatuan yang menutupi jalan. Sungai jadi sangat lebar merusak
daerah sepanjang alirannya.
Saya lalu beranjak ke sungai di
samping penginapan dan mandi sepuasnya. Sungai-sungai kecil yang kami
lalui sepanjang perjalanan airnya jernih, bahkan setelah melalui
permukiman penduduk. Ini menandakan hutan di kawasan hulu relatif
terjaga keasriannya.
Selesai mandi, kami semua membenahi
barang-barang dan memasukkannya ke dalam pannier. Selasa (13/3/2012)
itu, kami lanjutkan perjalanan menuju Ampana sejauh 58 kilometer.
Kami tinggalkan Padapu yang permai sekitar pukul 08.00. Angin menerpa wajah saat sepeda meluncur di aspal. Rasanya menyegarkan.
Ocat
mengayuh sambil bernyanyi-nyanyi. Di jalanan yang lengang itu kami
merasa leluasa untuk bermain dengan sepeda. Di jalanan menurun saya
bentangkan kedua tangan dan membiarkan sepeda meluncur sendiri. Rasanya
menyenangkan sekali. Kami berempat merasa bebas, seperti burung elang
yang membentangkan sayapnya di langit. Seperti anak-anak yang dibiarkan
ibunya bermain sepeda kemanapun mereka mau.
Kami harus
sering-sering berhenti untuk memotret karena pemandangan ke arah Teluk
Tomini sangat indah. Sepanjang jalur Tagolu-Ampana, jalanan menyusuri
pantai yang landai. Terkadang jalan meniti batu karang yang terjal.
Sekitar
sepuluh meter dari pantai, lautan dalam menciptakan warna biru yang
kelam. Di beberapa pantai berpasir putih, lautnya berwarna kehijauan.
Dari garis pantai, hutan lebat seperti permadani yang menutupi bukit.
Siang
hari kami memasuki Desa Taponamba, Kecamatan Ulubongka. Selepas desa
itu terdapat jembatan Sungai Bongka yang disebut-sebut terpanjang di
Sulawesi Tengah. Air sungai yang jernih kehijauan mengalir deras hingga
mendekati muara.
Kami lalu mendaki punggungan besar keluar dari
lembah Sungai Bongka. Dari ketinggian, pandangan saya terpaku pada
lereng yang terkelupas kehijauannya, menyisakan kayu berserakan.
Perambahan
hutan merajalela di kawasan Ulubongka sejak pemekaran wilayah Kabupaten
Touna pada 2004. Padang sabana yang berada di lereng bukit sudah lebih
dulu hilang dan berubah menjadi ladang jagung. Kini warga merambah hutan
hingga ke puncak-puncak bukit.
Lepas dari Ulubongka, jalanan terputus oleh sungai kecil. Namun kendaraan masih bisa menyeberanginya.
Warga suku Ta, suku asli yang mendiami kawasan Ulubongka, menyebut sungai itu Ue Fo'u. Artinya, kami meminta air lagi.
Pada
musim kemarau, sungai itu mengering sehingga warga mengadakan ritual
khusus untuk meminta sungai itu tetap mengalir. Musim hujan seperti
sekarang, air meluber hingga ke jalanan yang lebih rendah dengan
kedalaman hingga sebetis orang dewasa.
Di pinggiran sungai, kami
sempatkan mencicipi binte atau jagung muda yang banyak ditanam warga.
Bulir jagung yang berwarna keputihan itu rasanya pulen seperti ketan.
Jagung dimakan bersama sayuran mirip urap dan sambal.
Jalan
mendaki dan menurun berkelok mengikuti kontur. Angin samping dari arah
laut atau dari depan kadang memberatkan kayuhan. Kami bekerja sama
menghadapi angin ini dengan bergantian mengayuh di depan untuk "menarik"
teman di belakang. Enaknya jalan berempat, kalau ada yang bermasalah,
kami bisa membagi tim jadi dua sehingga perjalanan dapat diteruskan
tanpa banyak buang waktu.
Menyeberang ke Gorontalo
Saat memasuki Ampana pukul 15.00, kota masih sibuk. Pelabuhan kecil itu menjadi pintu gerbang penyeberangan ke Kepulauan Togian.
Kepala
Dinas Perhubungan Ampana Basri Husain mengatakan, kapal feri
menyeberang ke Gorontalo melalui Kepulauan Togian setiap hari Kamis dan
Minggu pukul 10.00. Penyebrangan pada hari Minggu berlabuh di Marissa,
sekitar 180 km dari Gorontalo. Sementara penyeberangan pada hari Kamis
berlabuh di Gorontalo. Jadi jika anda bersepeda dan hendak menyeberang,
pastikan kapal yang ke Gorontalo.
Kita bisa juga menyeberang ke
Gorontalo dari Pagimana, sekitar 145 km dari Ampana ke arah timur. Dari
pelabuhan ini kapal ferry menyeberang setiap hari Rabu dan Jumat pukul
20.00 dan tiba di Gorontalo pukul 06.00 esoknya. Biaya menyeberang dari
Pagimana Rp 73.000 per orang ditambah sepeda Rp 44.000. Angkutan umum
trayek Ampana-Pagimana hanya ada sekali sehari dengan tarif Rp 60.000
per orang. Biasanya angkutan umum berangkat tengah hari. Kalau sewa
kendaraan berkisar Rp 350.000-Rp 450.000 sekali jalan.
www.pulogadingcity.blogspot.com