TRAVEL
Waruga, Pemakaman Kuno Warga Minahasa
Waruga di Desa Sawangan, Manado, Sulawesi Utara.
HEADLINE NEWS - Selepas Bintauna, kami masuki medan
tanjakan panjang berkelok-kelok mendaki bukit sekitar sepuluh kilometer
menjelang Maelang. Sekurangnya ada lima tanjakan yang membuat truk pada
ngeden. Tanjakan itu berakhir di Kayu Kambing, puncak bukit yang
pemandangannya didominasi bukit teletubies (padang sabana) dan Laut
Sulawesi.
Kalau melihat ukuran batu yang besar dan berat, orang-orang dulu badannya berukuran besar sekali.
-- Anton Jatunga
Setelah itu jalan lurus dengan tanjakan dan turunan panjang (big loop) menghiasi perjalanan menuju Amurang. Dari kota pelabuhan alam itu, kami berbelok ke arah Tomohon.
Untuk
mencapai kota Manado, sebenarnya kami bisa langsung menyusuri jalan
Trans Sulawesi lintas utara berjarak sekitar 58 kilometer. Jalan itu
melintasi tanjakan terjal Bukit Senduk.
Kami memilih melewati
Tomohon yang memutar lebih jauh, namun pemandangannya lebih indah.
Sama-sama harus menghadapi tanjakan berat, rasanya amat sayang untuk
melewatkan pemandangan Danau Tondano dan pegunungan di sekitarnya.
Di
Tomohon, kami bergerak mendaki Gunung Mahawu saat matahari mulai
terbenam. Puncak gunung setinggi 1.324 meter itu kami capai dari Desa
Rurukan. Desa dimana Wallace pernah tinggal untuk waktu yang cukup lama
dalam perjalanannya ke Manado.
Pendakian ke puncak Mahawu hanya sekitar 15 menit dari tempat kami memarkir sepeda di hutan. Di bibir kawah, kami bentangkan flysheet
dan melewatkan malam dibawahnya. Di kejauhan gunung-gunung yang
mengelilingi Manado menyembul di balik awan, seperti Gunung Klabat,
Manado Tua, dan Soputan di kejauhan. Di sebelah barat, berdiri Gunung
Lokon yang kawahnya tertutup awan.
Langit malam jernih memeluk
bintang. Angin dingin terus bertiup menerpa kami yang hangat dengan
secangkir kopi. Malam itu kota Manado terlihat gemerlap jauh dibawah
sana. Saya bertanya, masihkah kota itu seindah saat Wallace berkunjung
kesana dan terpesona akan keindahannya.
Pada 10 Juni 1859 Wallace
kembali ke Sulawesi dan mendarat di Manado dalam perjalanannya menuju
Banda, Ambon, dan Ternate. Ia menulis, Manado merupakan kota tercantik
di bagian timur Nusantara. Kota ini bagaikan taman luas yang di dalamnya
berjejer vila-vila dengan sebuah jalur lebar yang memisahkan.
Penduduknya
punya karakter khusus. Mereka tenang, lembut, dan dengan cepat
mengadopsi peradaban yang maju. Mereka punya bakat besar di bidang
pertukangan dan berpotensi intelektual besar.
Wallace yang tinggal
di Rurukan, dekat Danau Tondano suatu pagi berjalan-jalan ke pinggiran
danau, ke lokasi air terjun yang terkenal di bibir danau. Ada dua air
terjun, Yang paling bawah lebih deras.
Di tempat itu, empat tahun
sebelumnya ada seorang mantan Gubernur Maluku yang tewas bunuh diri
dengan melompat ke arus. Warga mengatakan, aksi itu dilakukan karena ia
dijangkiti penyakit kronis yang membuatnya tak ingin hidup. Mayatnya
ditemukan keesokan harinya di sungai di bawah air terjun.
Cerita
Wallace itu tak mengurangi kekaguman kami akan Danau Tondano yang
permai. Hamparan danau dikelilingi pegunungan, padang alang-alang
menghijau, dan persawahan dengan udara sejuk.
Di pinggiran danau
kami santap masakan ikan nila bakar rica-rica, sambal ikan roa, dan sop
ikan mujaer kuah asam. Setelah itu kami meluncur mengelilingi danau dan
langsung tancap ke arah kota.
Sekitar 30 kilometer sebelum sampai
di kota, kami sempatkan singgah di Desa Sawangan. Desa di pinggiran
Sungai Tondano yang airnya jernih itu menyimpan pemakaman kuno warga
Minahasa yang disebut Waruga.
Anton Jatunga, juru kunci makam
mengatakan, Waruga berasal dari bahasa Tonsea yaitu wale, yang artinya
rumah dan maruga, artinya raga yang akan mati. Waruga adalah tradisi
memakamkan sanak keluarga di dalam batu persegi panjang yang ditegakkan
di halaman rumah.
“Batunya disebut batu dimato yang dipahat dan
digotong utuh ke halaman rumah. Kalau melihat ukuran batu yang besar dan
berat, orang-orang dulu badannya berukuran besar sekali, seperti juga
terlihat dari gelang yang dikenakan,” tutur Anton.
Kami lanjutkan
perjalanan menyusuri jalanan aspal mulus yang terus menurun. Saat
memasuki kota Manado, Selasa (21/3/2012), matahari sudah mulai condong
di sebelah barat. Sinarnya menghangati punggung yang basah oleh keringat
ketika kami tiba di Bundaran Zero atau titik kilometer 0 dekat Pantai
Bulevar.
Kesan pertama saya, Manado tak ubahnya kota besar yang
tengah bersolek untuk disebut modern. Gambaran Wallace tentang
keindahannya tinggal sedikit saja tersisa. Manado tak lagi sama.
Bangunan
baru tumbuh memadat disela rumah-rumah lama di pinggiran kota. Di pusat
kota, bangunan muncul semrawut, lalu lintas macet. Keindahan kawasan
pantai bulevar hanya ada di angan-angan. Proyek reklamasi dan
pembangunan gedung yang penataannya campur aduk membuat kawasan pantai
terkesan kumuh.
Di kafe pinggiran pantai, kami rayakan akhir
perjalanan dengan semangkuk besar kelapa muda dan bir dingin. Panorama
mentari yang terbenam terhalang sebuah reklame besar yang dipasang tanpa
estetika sama sekali.
Tanpa terasa sudah 1.255 kilometer kami
berjalan. Waktu dua minggu menyusuri Sulawesi terasa amat kurang.
Sekalipun begitu, saya merasa lega perjalanan impian ini terwujud
dengan penuh warna. Ini menjadi langkah awal untuk menemukan kembali
Indonesia yang begitu indah dari atas sepeda. www.pulogadingcity.blogspot.com