TRAVEL
Kisah Kerajaan Gaib di Bintauna
Gowes Trans Sulawesi.
HEADLINE NEWS - Dalam perjalanan dari Gorontalo menuju
Manado, Budi Satria ikut bersama kami. Budi adalah teman dekat saya
semenjak kuliah di Universitas Parahyangan, Bandung dan sama-sama
anggota Mahitala Unpar. Bersamanya saya sering pergi mendaki gunung,
mengarungi sungai, dan pergi ke tempat-tempat eksotis di pelosok Tanah
Air.
Namun baru kali ini ia pergi bersepeda jarak jauh dan bersama
kami berempat yang telah bersepeda bersama sejauh 600 kilometer. Ayah
dua anak yang mengelola sebuah koperasi itu perlu waktu untuk
penyesuaian.
Sabtu (18/3/2012) pagi sekali kami bersepeda menuju
Atinggola melintasi jalan Trans Sulawesi yang beraspal mulus. Sepanjang
60 kilometer pertama jalan relatif landai mengitari Danau Limboto yang
airnya kehijauan dan terkepung eceng gondok. Kami sempatkan mendaki ke
Benteng Otanaha sekeluarnya dari kota. Dari puing-puing tiga benteng
peninggalan Belanda di atas bukit, pandangan lepas ke arah danau bisa
menyegarkan mata sebelum melanjutkan kayuhan.
Jalan berliku dan
datar terasa agak membosankan sampai di daerah Kwandang. Selepas itu
kami mendaki jalan berliku di perbukitan hampir sepanjang 30 kilometer.
Budi yang belum terbiasa dengan ritme kayuhan kami berempat tertinggal
jauh di belakang. Namun ia terus mengayuh pantang menyerah dan menemukan
ritmenya sendiri.
Kami mencapai Atinggola sekitar pukul 20.00,
saat kebanyakan rumah dan warung sudah pada tutup. Aktivitas sudah
berakhir dan warga beranjak tidur. Kami singgah di rumah makan Phoenix
sekaligus mengistirahatkan badan yang penat menempuh jarak 114
kilometer.
Besoknya kami berencana melanjutkan ke Maelang sejauh
104 kilometer. Namun medan berat dengan tanjakan-tanjakan panjang
mengharuskan kami singgah dan bermalam di Bintauna, sekitar 25 kilometer
sebelum Maelang.
Desa adat Bintauna di Kecamatan Sangkub,
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, adalah salah satu kerajaan tua di
pesisir utara Sulawesi Utara. Gapura kecil dekat pusat kota bertulisakan
'Selamat Datang di Desa Adat Bintauna' menggugah rasa ingin tahu saya
tentang desa itu.
Ambo Palloto, warga asli Bintauna yang saya
temui mengisahkan, pusat kerajaan Bintauna dulunya terletak di dekat
Bendungan Sangkub, sekitar 20 km dari pusat kota saat ini. Di tempat itu
berdiri bangunan kerajaan yang dikelilingi rumah warga desa. Kerajaan
itu masih ada sampai tahun 1950-an.
"Zaman pemerintahan Presien
Soekarno, raja masih memerintah desa dengan arif. Setelah raja
meninggal, pemerintahan kerajaan tidak lagi diteruskan," tutur Ambo yang
membuka warung makan di pinggir Jalan Trans Sulawesi.
Secara
gaib, desa juga menghilang sehingga di kalangan penduduk, desa tersebut
dikenal dengan nama Ilanga atau desa yang hilang. Pusat kerajaan lalu
dipindah ke pinggiran Sungai Sangkub yang airnya mengalir tenang
kehijauan dan pinggirannya penuh rawa bakau. Di tempat baru, ternyata
warga desa banyak yang menjadi korban dimakan buaya besar yang saat itu
masih banyak berkeliaran di sungai. Desa kemudian dipindahkan ke pusat
kota yang sekarang ini.
Itu kisah lisan versi penduduk setempat.
Keterangan Mokapog Center yang mengutip sejumlah tetua adat setempat
menjelaskan sekelumit tentang bekas kerajaan tua Bintauna. Alkisah, pada
masa pemerintahan Pangulu Datu Binangkal yang menggantikan Pangulu
Dotinggulo (wafat 1620) sebagai pendiri Negeri Mokapog, hiduplah Solagu.
Tokoh yang dikenal luas dan berpengaruh di kalangan penduduk lereng
barat Gunung Kabila (Tapa), Molibagu, Doluduo dan Dumoga itu dicintai
karena bijaksana, tangkas, sakti, cerdik, dan jujur.
Pangulu Datu
Binangkal mengadakan bedol desa meninggalkan Mokapog menuju Kaidipang.
Sebagian penduduk yang tetap tinggal di Mokapog kemudian mengangkat
Solagu menjadi “Palima” atau pemimpin mereka untuk mencari wilayah baru
karena mereka kurang setuju pindah ke Kaidipang atau turun ke Sonuo
(Bolangitang lama).
Dipimpin Solagu, penduduk bergerak ke arah
timur. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 40 kilometer, maka para
tetua mulai mempertanyakan sejauh mana mereka akan bergerak dan
membangun negeri. Seorang tetua lalu berseru dengan nyaring dalam bahasa
mereka, “Po’ontonge bintang ona-ona iye, onda poberentia nota, otuntua
ponaka no lipu“ (artinya kurang lebih 'Lihat baik-baik bintang di depan
ini, dimana dia berhenti, disitu kita bikin negeri').
Dari seruan
inilah konon asal mula nama Bintauna. Rombongan segera berhenti berjalan
ketika mereka melihat bahwa bintang yang memandu mereka berhenti
bergerak. Hutan di lokasi ini lalu dibuka secara gotong royong dan
disitulah kemudian mereka membangun negeri.
Mereka mengangkat
Solagu menjadi raja dengan gelar Dotu Solagu (Dotu artinya raja dan
Solagu artinya besar). Nama ini kemudian lebih dikenal dengan
Datunsolang. Keturunan Raja Datunsolang secara turun temurun memerintah
di Kerajaan Bintauna sampai dengan rajanya yang terakhir yaitu Paduka
Tuan Raja M Toraju Datunsolang yang masa pemerintahannya berakhir pada
tahun 1950.
Kedudukan kerajaan Bintauna ini mula-mula di hulu
Sungai Huntuk, tepat pada belahan hulu Sungai Bintauna Pante yang
lembahnya disebut “Gambut Inlanga” dan Biau serta daerah perbukitan
sekitarnya. Di tempat ini Raja Datunsolang membangun Komalig. Desa lama
itu yang disebut-sebut menghilang secara gaib sehingga warga menyebut
lembah dimana desa itu berada sebagai 'Gambut Inlanga'.
Sebenarnya
untuk mendekati jalur komunikasi dan transportasi laut, Komalig
dipindahkan ke Bintauna Pante. Terakhir karena sering tergenang banjir,
Komalig dipindahkan lagi ke Pimpi. Komalig ini terbakar habis dalam
taktik bumi hangus pada masa pergolakan PRRI/Permesta.
Bupati
Bolmong Utara sekarang Hamdan Datunsolang merupakan keturunan langsung
raja Solagu. Sisa bangunan kerajaan kini ada di sekitar pusat desa
Bintauna. Desa kini dihuni berbagai etnis yang didominasi oleh warga
asli setempat, Bugis, Makassar, dan Minahasa. Banyak juga pendatang dari
berbagai daerah yang membuka aneka usaha.
Selain kisah bintang
dan desa yang menghilang secara gaib itu, warga kini masih bisa
menikmati wisata di kawasan pantai Bintauna yang berpasir putih. Bila
ingin berenang di lingkungan pantai berombak lebih tenang, bergeraklah
ke arah Pantai Nyiur Hijau di Desa Babo, sekitar 28 kilometer dari
Bintauna atau selepas kota kecil Maelang. Kisah tentang Bintauna itu
mengingatkan saya akan masa keemasan raja-raja di Sulawesi.
Diantara
kisah itu saya paling terkesan dengan kisah tentang Karaeng
Pattingalloang yang termasyur di kalangan penjelajah dunia pada
pertengahan abad ke-17. Perdana Menteri Kesultanan Gowa itu haus akan
ilmu pengetahuan dan semangat penjelajahan yang tinggi. Ia memesan bola
dunia raksasa berukuran 1,3 meter dari kartograf tenar masa itu, Joan
Bleu. Bola dunia terbesar di Asia Tenggara pada masa itu.
Delapan
tahun setelah wafatnya Karaeng, terbit Atlas Maior Joan Blaeu dengan 600
halaman rangkap peta dan 3.000 halaman naskah. Karya itu merupakan
pencapaian kartografis-artistik yang tak tertandingi hingga kini.
Pada
bagian Peta Dunia, terlihat dua sosok besar, di hemisfer Barat
tampaknya nabi kartografi dunia modern Gerardus Mercator dan di langit
timur Karaeng Pattingaloang tengah menetapkan jarak Celebes dari Kutub
Utara. Dua pemikir yang dengan caranya sendiri menyusun dunia, kini
bekerja di langit, di antara dewa-dewa mitologis Yunani Purba, di antara
planet-planet Tatasurya. (Nirwan Ahmad Arsuka, Kompas, 1 Januari 2000).
Sulawesi
dengan 6.000-an kilometer garis pantai dan alam pegunungan di
pedalamannya sungguh kaya akan kisah pasang surut kerajaan yang
mendiaminya di masa lalu. Cerita tentang bintang gaib dan Karaeng
Pattingaloang itu mengantar tidur malam kami yang nyanyak di Bintauna. www.pulogadingcity.blogspot.com