BISNIS
Harusnya Pemerintah Jangan Gunakan Harga Pasar BBM
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi
JAKARTA, -
Pengamat energi Kurtubi meminta pemerintah untuk segera mengubah
perhitungan besaran subsidi dan acuan harga BBM bersubsidi dengan tidak
lagi menggunakan harga pasar. Menurut dia, pemerintah seharusnya mengacu
pada biaya pokok bahan bakar minyak (BBM).
Peringatan ini
dilontarkan Kurtubi menanggapi gugatan yang akan diajukan oleh pakar
hukum tata negara Yusril Izha Mahendra terkait Undang-Undang APBNP 2012
ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu pertimbangan Yusril adalah penafsiran
MK tahun 2003 ketika pengujian Pasal 28 Undang-undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Yusril mengatakan, substansi
Pasal 7 Ayat 6a dalam UU APBNP itu sama dengan UU Migas dan Gas Bumi
sebelum dibatalkan MK. Intinya adalah harga migas diserahkan ke
mekanisme pasar. "Selama waktu penundaan kenaikan harga BBM ini,
pemerintah seharusnya memperbaikan cara perhitungan besaran subsidi BBM
yang benar," ujar Kurtubi ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (1/4/2012).
Kurtubi
menerangkan, dalam pengujian UU Migas Pasal 28, Mahkamah Konstitusi
telah mengeluarkan keputusan bahwa pemerintah tidak boleh mengacu pada
harga pasar. Sementara hasil rapat paripurna DPR untuk APBNP 2012
menghasilkan Pasal 7 ayat 6a yang menyebutkan pemerintah bisa
menyesuaikan harga jika selisih realisasi harga rata-rata minyak mentah
Indonesia (ICP) dengan asumsi mencapai 15 persen dalam kurun waktu 6
bulan.
Kurtubi menjelaskan, acuan pemerintah untuk menyesuaikan
harga adalah ICP bukan biaya pokok. Padahal, kata dia, sebelum UU Migas
tersebut ada, pemerintah selalu menggunakan biaya pokok. Anehnya lagi,
pemerintah justru menggunakan biaya pokok listrik dalam menghitung
besaran subsidi listrik. Tetapi hal ini tidak dilakukan untuk subsidi
BBM.
Ia pun mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak memperhatikan
keputusan MK atau pemerintah tidak mengerti dengan putusan tersebut.
"Pemerintah saat ini dalam menghitung subsidi listrik menggunakan biaya
pokok listrik tapi untuk BBM menggunakan harga pasar yang tidak
diperbolehkan MK," tegas Kurtubi.
Dengan kondisi ada pihak yang
akan menggugat UU APBNP 2012 khususnya Pasal 7 ayat 6a tersebut, ia pun
meminta pemerintah segera merubah acuan perhitungannya. Jika tidak,
pemerintah termasuk presiden bisa dianggap melanggar konstitusi. Bahkan
ini bisa menjadi ruang bagi partai politik untuk menjatuhkan pemerintah.
"Alasan untuk impeachment (pemakzulan) sangat terbuka. Presiden
dianggap melanggar sumpah jabatan. Ini pelanggaran konstitusional secara
terang-terangan," pungkas Kurtubi yang juga meminta agar pemerintah
meminta maaf kepada rakyat atas hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar