Rabu, 11 April 2012

REGIONAL
Lagi, Dua PRT Disiksa di Medan
Quraeni (baju coklat) dan Munisa (baju biru) didampingi paman dan ayah mereka di RSU Pirngadi Medan, Rabu (11/4/2012)
MEDAN - Namanya Quraeni,  umurnya 16 tahun, warga Blok Gegeneng RT/RW 006/003, Desa Bondan, Kecamatan Sukagumiwang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, bersama kawan sekampungnya, Munisa, 17 tahun, tengah menjalani masa pemulihan di Rumah Sakit Umum (RSU) Pirngadi Medan.

"Masih terlihat lemas tapi Quraeni sudah banyak makannya," kata Ganda, sang paman, yang datang langsung dari Indramayu untuk melihat keadaan keponakannya, Rabu (11/4/2012). Sementara Munisa, yang masih duduk di atas tempat tidur di sebelah Quraeni hanya diam tertunduk.

Terlihat bekas infus yang baru dicabut dari tangan Quraeni dan dia masih terlihat kurus. Pada telapak kaki keduanya terlihat pecah-pecah yang tergolong parah, Quraeni bilang ini karena terlalu sering di air. "Jam 04.00 subuh kami sudah disuruh menyuci pakaian dengan tangan, setelah itu mencuci mobil, sepeda motor, sampai dua kali sehari," kenang Quraeni.

Ditanya bagaimana dia bisa sampai ke Medan, air mukanya langsung mengeruh, Gandi yang paham perasaan keponakannya lalu mewakili untuk bercerita. Menurut Gandi, 6 Januari 2011, Kasem (48) ibu Quraeni yang juga bekerja sebagai pembantu rumah tangga berkenalan dengan 'Ibu Nani' agen pencari tenaga kerja di Yayasan Sari Bakti Mandiri, Jalan Rasa Mulia, Bungur, Senen, Jakarta Pusat.

Nani menawarkan kepada Kasem agar Quraeni dipekerjakan sebagai PRT di Jakarta. Kasem pun menurutinya. Tanggal 9 Januari 2011, Quraeni bersama dua anak perempuan lain yaitu Leha dan Indah juga berasal dari Indramayu dibawa dibawa Nani ke Jakarta dengan menumpangi bus. Sesampai di Jakarta, yayasan mempertemukan Quraeni dengan Beni Candra yang mengaku tinggal di Tanggerang. Beni menjanjikan gajinya Rp 500 ribu per bulan dengan pekerjaan menyuci, mengepel, menyapu dan bersih-bersih saja. Quraeni pun mengiyakan.

10 Januari 2011 bersama Jihan dari temannya satu yayasan, mereka menuju Bandara Soekarno Hatta tanpa tahu tujuannya. Menggunakan maskapai Lion Air dan sekira pukul 14.00 WIB mereka tiba di Medan. "Sebelum naik pesawat, Beni meminta handphone kami dengan alasan tidak boleh diaktifkan, dan dia bilang kami nau liburan ke Medan," timpal Quraeni.

Tiba di Medan, naik taksi bandara menuju rumah Beni di Graha Sunggal, Blok H, Nomor 9, Kecamatan Medan Sunggal. Keduanya diterima baik oleh Ny Lili Wikimiyati (60) majikan perempuan mereka. Sayangnya, Jihan hanya satu hari berada di Medan, dengan alasan menderita sakit mata, dia dikembalikan ke Jakarta. Beni menyuruh Quraeni untuk mencari satu orang temannya agar menemaninya bekerja di Medan. Dia menawari Munisa. Muniasa pun bersedia.

Dari mulai pertama datang, keduanya tidur beralaskan kardus di garasi merangkap gudang berukuran 4,5 x 7 meter bersama dua mobil, dua sepeda motor, kulkas rusak, dan tumpukan barang-barang tidak terpakai lainnya. Dengan harapan membantu keuangan keluarga, keduanya bertahan hingga bulan demi bulan berjalan. Tiga anak majikan mereka yaitu, Erick Wijaya (28) bekerja di Hariston Medan, Franko Wijaya (24) pegawai di Bank Lippo Medan, dan Kenny Wijaya (17) siswa kelas II SMA Supriadi Medan, juga awalnya memperlakukan mereka dengan baik.

Walau mereka tidak pernah mendapatkan gaji sesuai yang dijanjikan, tak ada keberanian untuk bertanya. Kekerasan mulai muncul pada Februari 2011, ketika Munisa dimarahi majikan karena tidak bersih menyapu kolong tempat tidur di lantai dua dan tiga rumahnya. Ny Lili menampari pipi Munisa sambil mengeluarkan kata-kata kotor. "Binatang, orang miskin, menjijikkan, najis, cicak kering, babon, tiap hari menjadi makanan kami," kata Munisa menyahut.

Perlakuan majikan juga semakin hari semakin beringas dan kasar kepada keduanya, tamparan, tendangan, jambakan, memukul menggunakan serokan penggorengan, menyetrum dengan raket nyamuk dan obeng, menjadi hal biasa bagi keduanya. Bahkan, keduanya sering dipaksa saling menampar jika salah satu dari mereka melakukan kesalahan.

Namun dari semua siksaan tersebut yang paling menyakitkan adalah saat keduanya dipaksa meminum urin Ny Lili yang ditampung di tempat nasi (terbuat dari busa yang mudah dihancurkan) dalam keadaan hangat karena baru dikeluarkannya. Hal ini dilakukan Ny Lili karena keduanya mengantuk saat bekerja. Bahkan keduanya pernah disuruh mencium kotoran (feses) Ny Lili saat mengantuk ketika mencuci pakaian.

Majikan laki-laki mereka sekira bulan Agustus 2011 pernah menendang Munisa sampai tercampak dan kepalanya berdarah membentur tembok. "Aku disuruh membersihkan luka Munisa dengan alkohol," kata Quraeni.

Genap 15 bulan keduanya bekerja pada keluarga Beni Candra dan belum sepeser pun gaji mereka dibayar. Mereka malah disuruh membayar harga gelas yang mereka pecahkan sebesar Rp 200 ribu per gelas. Kemudian baju yang mereka setrika jika ketahuan terbakar atau bolong maka harus diganti uang sebesar Rp 1 juta. "Selama bekerja sudah tiga gelas yang kami pecahkan. Bahkan sabun mandi saja kami disuruh membeli," ungkap Quraeni.
Pengawasan terhadap aktivitas mereka pun tergolong ketat. Majikannya menggunakan CCTV mulai lantai 1 dan 4 untuk memantau pekerjaan keduanya. Akses tertutup, baik menonton tv, menggunakan telepon genggam, atau keluar rumah. Namun, perihnya penderitaan yang dialami keduanya membuat mereka nekad untuk melarikan diri.

28 Maret 2012 sekira pukul 15.00 WIB, keduanya keluar lewat jendela lantai 2 dan merambati tembok membuka kaca jendela rumah kosong sebelah rumah majikannya, kemudian lari sejauh mungkin dalam keadaan ketakutan. Beruntung, mereka bertemu Ratna (45) warga Klambir V, Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia, yang bersedia menampung mereka hingga saat ini. Arifin, mewakili Ratna berharap kasus ini cepat selesai. "Mereka mau pulang, sangat merindukan kampung halamannya," kata Arifin. 
 www.pulogadingcity.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar